Senin, 04 Mei 2009

Kita Adalah Apa yang Kita Lakukan Saat Ini

Ustadz. Faris AS (Martono alfaritsy, S.Pd)

(Dosen Manajemen Kampus STIM Boalemo)

Saya sering mendengar orang bergumam. “Oh, dulu kalau tidak ada saya, itu tidak akan jadi!”, “Walah, dulu saya, bekerja keras untuk membantu membuat ini dan itu. Gak ada uangnya!”, dan yang sejenisnya. Tidak ada yang salah dengan fakta ini. Hanya saja, kalau orang yang bergumam tersebut masih melakukan hal yang sama akan sangat bagus. Inilah yang dalam Islam disebut dengan istiqomah, konsisten.

Mengapa penting? Masa lalu tidak bisa diputar. Benar, masa lalu mempunyai kontribusi kepada masa kini, tetapi kita tidak bisa hidup hanya dengan membanggakan masa lalu. Kita adalah apa yang kita lakukan sekarang. Seseorang boleh mengaku dulunya santri atau anak kyai, tetapi kalau sekarang menjadi preman, maka dia adalah preman. Tidak sedikit contoh yang bisa kita lihat di dunia nyata. Banyak orang sukses pada masa lalu, tetapi karena lupa bahwa umur bisa bertambah dan popularitas bisa surut, masa depan tidak direncanakan dengan baik. Saya teringat cerita kawan tentang seorang penarik becak di salah satu wilayah di Yogyakarta yang mendapatkan uang sangat banyak dari turis asing yang sering dia antar. Uang tersebut seharusnya bisa dilakukan untuk mengubah nasibnya dengan dijadikan modal usaha, salah satunya. Apa yang dilakukan penarik becak tersebut? Segera setelah mendapatkan uang tersebut, gaya hidupnya berubah. Tidur di hotel. Setelah habis uangnya, kembalilah dia sebagai penarik becak. Tetap menekuni pekerjaan di sini tentu saja bukan istiqomah. Dalam istiqomah ada komponen hijrah, pencarian status yang lebih baik.

Sebaliknya, seorang dapat mempunyai masa lalu yang kelam, tetapi kalau sekarang dia menjadi ustadz, dia adalah ustadz. Banyak contoh juga yang telah ditayangkan di dunia nyata. Mantan bromocorah atau preman yang kini menjadi ustadz adalah salah satunya.

Sindrom nostalgia inilah yang seringkali menghambat orang untuk berkembang dan maju. Jangan mentang-mentang kita pernah merasa berjasa, kemudian gila hormat, minta dihargai tanpa prestasi apa-apa untuk saat ini. Orang yang hidup di bayang-bayang masa lalu ini biasanya cenderung menjadi pemberontak dan justru tidak melanggengkan apa yang telah dia kerjakan pada masa lalu tetapi seperti menagih bayaran lebih atas yang telah dilakukan meskipun telah dibayar sebelumnya.

Kalau kita melakukan kebaikan dengan niat lurus, nampaknya hasilnya akan berbeda. Tidak perlu menyuruh orang mengingat kita, menghargai kita. Kebaikan kita akan selalu diingat, orang akan menghargai kita, meskipun bukan itu tujuan kita berbuat baik.

Jangan-jangan kita juga termasuk orang yang terlalu mencintai masa lalu dan lebih memilih hidup di bawah bayang-bayangnya. Kalau demikian halnya, kita tak ubahnya sopir kendaraan dengan kaca depan tidak tembus pandang tetapi mempunyai kaca spion yang terlalu besar. Mudah-mudahan tidak!