Jumat, 22 Mei 2009

Melawan Diri Sendiri

Martono Al-faritsy, S.Pd

(Dosen Manajemen pada Kampuz STIM Boalemo Prov. Gorontalo)

Kemenangan sejati bukanlah kemenangan atas orang lain. Namun, kemenangan atas diri sendiri. Berpacu di jalur keberhasilan diri adalah pertandingan untuk mengalahkan rasa ketakutan, keengganan, dan semua beban yang menambat diri di tempat start.

Jerih payah untuk mengalahkan orang lain sama sekali tak berguna. Motivasi tak semestinya lahir dari rasa iri, dengki atau dendam. Keberhasilan sejati memberikan kebahagiaan yang sejati, yang tak mungkin diraih lewat niat yang ternoda.

Pelari yang berlari untuk mengalahkan pelari yang lain, akan tertinggal karena sibuk mengintip laju lawan-lawannya. Pelari yang belari untuk memecahkan rekornya sendiri tak peduli apakah pelari lain akan menyusulnya atau tidak. Tak peduli di mana dan siapa lawan-lawannya. Ia mencurahkan perhatian demi perbaikan catatannya sendiri.


oleh : Martono Alfaritsy

Senin, 04 Mei 2009

Kita Adalah Apa yang Kita Lakukan Saat Ini

Ustadz. Faris AS (Martono alfaritsy, S.Pd)

(Dosen Manajemen Kampus STIM Boalemo)

Saya sering mendengar orang bergumam. “Oh, dulu kalau tidak ada saya, itu tidak akan jadi!”, “Walah, dulu saya, bekerja keras untuk membantu membuat ini dan itu. Gak ada uangnya!”, dan yang sejenisnya. Tidak ada yang salah dengan fakta ini. Hanya saja, kalau orang yang bergumam tersebut masih melakukan hal yang sama akan sangat bagus. Inilah yang dalam Islam disebut dengan istiqomah, konsisten.

Mengapa penting? Masa lalu tidak bisa diputar. Benar, masa lalu mempunyai kontribusi kepada masa kini, tetapi kita tidak bisa hidup hanya dengan membanggakan masa lalu. Kita adalah apa yang kita lakukan sekarang. Seseorang boleh mengaku dulunya santri atau anak kyai, tetapi kalau sekarang menjadi preman, maka dia adalah preman. Tidak sedikit contoh yang bisa kita lihat di dunia nyata. Banyak orang sukses pada masa lalu, tetapi karena lupa bahwa umur bisa bertambah dan popularitas bisa surut, masa depan tidak direncanakan dengan baik. Saya teringat cerita kawan tentang seorang penarik becak di salah satu wilayah di Yogyakarta yang mendapatkan uang sangat banyak dari turis asing yang sering dia antar. Uang tersebut seharusnya bisa dilakukan untuk mengubah nasibnya dengan dijadikan modal usaha, salah satunya. Apa yang dilakukan penarik becak tersebut? Segera setelah mendapatkan uang tersebut, gaya hidupnya berubah. Tidur di hotel. Setelah habis uangnya, kembalilah dia sebagai penarik becak. Tetap menekuni pekerjaan di sini tentu saja bukan istiqomah. Dalam istiqomah ada komponen hijrah, pencarian status yang lebih baik.

Sebaliknya, seorang dapat mempunyai masa lalu yang kelam, tetapi kalau sekarang dia menjadi ustadz, dia adalah ustadz. Banyak contoh juga yang telah ditayangkan di dunia nyata. Mantan bromocorah atau preman yang kini menjadi ustadz adalah salah satunya.

Sindrom nostalgia inilah yang seringkali menghambat orang untuk berkembang dan maju. Jangan mentang-mentang kita pernah merasa berjasa, kemudian gila hormat, minta dihargai tanpa prestasi apa-apa untuk saat ini. Orang yang hidup di bayang-bayang masa lalu ini biasanya cenderung menjadi pemberontak dan justru tidak melanggengkan apa yang telah dia kerjakan pada masa lalu tetapi seperti menagih bayaran lebih atas yang telah dilakukan meskipun telah dibayar sebelumnya.

Kalau kita melakukan kebaikan dengan niat lurus, nampaknya hasilnya akan berbeda. Tidak perlu menyuruh orang mengingat kita, menghargai kita. Kebaikan kita akan selalu diingat, orang akan menghargai kita, meskipun bukan itu tujuan kita berbuat baik.

Jangan-jangan kita juga termasuk orang yang terlalu mencintai masa lalu dan lebih memilih hidup di bawah bayang-bayangnya. Kalau demikian halnya, kita tak ubahnya sopir kendaraan dengan kaca depan tidak tembus pandang tetapi mempunyai kaca spion yang terlalu besar. Mudah-mudahan tidak!


Minggu, 03 Mei 2009


Martono Alfaritsy, S.Pd

ujur aja, punya hero kadang bikin kita pede. Ada panutan yang bisa dijadiin rujukan. Sejauh mana kita harus merasa perlu punya hero?

“Waktu kecil, saya punya hero bernama Spiderman. Abisnya, tuh hero sakti dan baik hati,” aku Donni pada SoDa saat nongkrong di sebuah pusat pertokoan di Jakarta.

Ternyata kawan kita ini menyukai salah satu tokoh komik ‘lulusan’ Marvel. Sama seperti kita waktu kecil. Bukan hanya Spiderman, tapi juga ada banyak di antara kita punya hero seperti Batman, Fantastic Four, Gundala, Flash Gordon, termasuk jawara silat lokal macam Jaka Sembung, Jaka Gledek, Joko Tingkir. Why?

“Kalo kita punya hero, kita jadi bisa ngikutin teladannya. Jadi rujukan kita. Panutan kita,” Donni ngasih alasan.

Memang sih, seorang panutan akan membuat kita merasa tenang dan merasa punya rujukan. Bahkan kita akan memposisikan diri sebagai bagian dari hero tersebut. Kelihatannya sih wajar en sah-sah aja. Karena siapa pun pasti merasa terinspirasi dari sesamanya. Manusia satu sama lain saling memberi inspirasi.

Ahmad Dhani yang komandan Dewa 19, konon kabarnya punya idola Bung Karno. Itu sebabnya, dalam beberapa penampilan doi sering menggunakan atribut yang mencirikan sosok Bung Karno (jas dan peci khasnya). Dengan begitu, kayaknya Dhani Dewa kepengen banget ‘disejajarkan’ dengan Bung Karno. Atau paling nggak, ngikutin semangatnya dari tokoh hero pujaannya itu.

Teman kita juga ada yang ngefans banget sama hero bernama lengkap Soekarno ini, “Karena dia presiden sekaligus negarawan yang dekat dengan rakyat,” papar Andri, siswa SMA Karya Pembangunan Bandung.

Andri juga menekankan bahwa punya hero itu perlu. Untuk apa? “Untuk jadi panutan dalam hidup kita,” jelasnya.

Hal senada soal hero dikatakan Edi, mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya, “Bisa mencontohnya, kemudian memberikan yang terbaik bagi seluruh umat manusia.”

Jadi panutan? Bisa jadi. Karena jujur aja kita sendiri sering bingung. Dalam hidup ini selalu belajar untuk menjadi lebih baik. Belajar dari orang yang kita anggap lebih baik kayaknya lebih efektif. Kita bisa meniru apa yang dilakukannya. Pendek kata, memang tuh hero jadi panutan en rujukan kita dalam menjalani hidup ini.

Itu sebabnya, kayaknya bener deh pendapat teman kita yang satu ini, “Punya hero perlu, tapi jangan yang imajiner. Kita tidak butuh pahlawan yang hanya sekadar untuk dikagumi. Tapi, kita butuh sosok-sosok nyata yang kiprahnya bisa diteladani. Yaitu pahlawan yang dapat memproduksi pahlawan-pahlawan baru dari remaja-remaja tersebut,” jelas Titok, mahasiswa UGM Yogyakarta dengan panjang lebar.

Meneladani sang hero

Seharusnya memang demikian. Seorang hero bisa memberikan semangat kepada ‘pengikutnya’. Kita pasti tahu bagaimana kuatnya kharisma Tjut Nyak Dien ketika berjuang menggelorakan semangat rakyat Aceh untuk berjuang melawan Belanda yang waktu itu sebagai penjajah. Semangatnya mampu menyebar di dada para pejuang Aceh.

Kalo sekarang mungkin yang jadi hero adalah orang yang bisa memberikan inspirasi dalam hidup kita. Untuk lebih percaya diri, untuk lebih bisa tenang menjalani hidup karena merasa ada orang yang mampu dijadikan rujukan dalam berbuat dan bertindak. Karena jujur aja nih, kita sering ingin banget dapetin ‘pembenaran’ dan dukungan atas apa yang kita lakukan. Salah satunya dengan kita mengikuti gaya hero yang kita teladani.

Sekalian bisa bilang ke orang-orang, bahwa apa yang kita lakuin memang ada teladannya. Dan itu adalah hero kita. Sehingga orang lain bisa ngeh dengan apa yang kita lakuin dan menganggap wajar karena ngikutin idola kita yang udah teruji keteladanannya di mata banyak orang.

Dan yang terpenting agar kita bisa meneladani sang hero, maka hero yang kita pilih adalah yang benar dan bagus. Yang tentunya lebih baik dari kita. Bisa dipercaya, bisa dijadikan rujukan dalam kebaikan. Terlebih, seorang hero tuh harus mampu memberi inspirasi yang baik buat kita. Itu sebabnya, menurut Fendy, salah seorang mahasiswa di Surabaya ngasih penjelasan soal tipe hero yang diinginkannya, “Tipe hero yang superhero, pokoknya yang bisa rejuvenation of mind (meremajakan kembali pemikiran -red).”

Hmm.. jika tipe hero yang diinginkan seperti, tentu bukan yang ecek-ecek dong ya. Kelasnya lain. Berarti tuh hero kudu menjadi inspirator ulung bagi setiap calon pengikutnya. Inspirator dalam melakukan kebenaran dan kebaikan tentunya.

Hero juga manusia

Seringkali kita membutuhkan dan menganggap bahwa hero tuh kudu kuat, sakti, baik hati, nggak pernah salah, dan nggak pernah mengecewakan. Tapi inget lho, hero juga manusia, yang bisa berbuat salah sekaligus mengecewakan kita. Tentu, jika kita memilih hero yang asal bungkus aja sesuai kriteria rasa suka kita. Bukan menyeluruh penilaiannya. Nggak objektif, tapi kita cenderung subjektif.

Kayak gimana sih sosok hero yang bisa dijadiin teladan en panutan kita?

“Intinya sih yang baik-baik. Tapi yang paling penting merakyat. Mo ganteng, pinter atau apapun selama tidak merakyat ya percuma,” Andri ngasih pendapat.

Tapi, ngomong-ngomong, siapa sih hero kamu saat ini Ndri?

“Saya memilih SBY. Soalnya kebijakan dia menaikan harga BBM itu merupakan keputusan yang baik. Dia menyelamatkan bangsa dari kebangkrutan di masa depan. Daripada diambil terus ama penyelundup karena harga di kita terlalu murah,” ujar Andri semangat. (Nah lho. Kalo gitu definisi merakyat menurutmu apa dong, Andri?)

Oke lah, tiap orang memang punya selera masing-masing buat nyari hero. Tapi mbok ya pilih-pilih en pilah-pilah gitu lho (untuk soal ini, silakan liat deh di Bidik 2, oke?).

Deden, yang masih tercatat sebagai siswa sebuah SMA di Bandung ngasih komentar soal hero yang ternyata nggak selamanya baik, “Pasti kecewa. Tapi semua itu relatif. Tergantung kesalahannya. Kalau parah ya cari panutan baru,” ujar Deden ringan aja.

Mungkin itu juga yang menyebabkan tiap orang bisa punya hero lebih dari satu atau berganti hero. Mungkin saja yang tadinya dianggap bajingan, tapi suatu saat jadi superhero. Sebaliknya, sosok yang tadinya dipuja bak mahluk setengah dewa kayak di lagunya Bang Iwan Fals, eh bisa jadi esok atau lusa ketika berbuat salah dan jahat, langsung turun derajat, bahkan berganti peran menjadi sosok yang paling dibenci di dunia. Mudah saja bukan?

Jadi, nggak perlulah kemudian kita meyakin-yakinkan diri bahwa hero juga manusia, nggak lepas dari salah dan dosa. Lalu kita menganggap wajar aja. Ah, kalo pernyataannya kayak gitu mah, namanya mengampuni diri sendiri atas pilihan yang salah.

Itu sebabnya, meski punya hero itu perlu, tapi kudu jaga diri dari godaan menjadikan sosok biasa untuk disulap jadi hero, apalagi superhero. Mereka yang jadi hero memang manusia. Itu sebabnya kudu memilih sosok hero yang paling sedikit kesalahannya. Atau paling nggak memang manusia pilihan sebagaimana Rasulullah saw. Insya Allah bisa lebih membimbing kita dijalan yang benar. Oke? [solihin: liputan daerah: gilang, rizki, sigit]

BOX:

Islam sumber keberanian dan motivasi

Benar. Islam sejak lama sudah menjadi magnet kuat bagi manusia yang cinta kebenaran. Sosok Muhammad saw. pasti salah satu daya tariknya. Para sahabat menjadikan beliau guru, sahabat, sekaligus hero dalam kehidupannya.

Uniknya, karena Islam adalah sumber keberanian dan motivasi dalam hidup, maka banyak dari pengikut Muhammad saw. yang tadinya ‘manusia biasa’ menjadi ‘luar biasa’. Mereka menjadi hero di antara para hero dan tentunya layak dan pantas kita jadikan hero dalam kehidupan kita.

Khalid bin Walid, mantan panglima perang kafir Quraisy ketika memukul mundul pasukan kaum muslimin di Perang Uhud, terpesona dengan Islam dan mengubah dirinya dari hero jahat menjadi hero baik di jalan kebenaran.

Sosok Usamah bin Zaid yang masih muda usia melambung namanya setelah menjadi panglima perang pada usia 18 tahun. Salman al-Farisi yang semula penyembah api, lalu masuk Islam dan menjadi sosok hero buat kita yang bisa diandalkan. Masih banyak. Masih ribuan sosok hero yang berhasil ‘diproduksi’ Islam sebagai ideologi yang bisa menyegarkan kembali pemikiran umat manusia selama ini.

Yup, kita bisa meneladani hero-hero yang lahir dari rahim Islam. Bahkan, jika kita meneladani mereka, terus kita ‘menjerumuskan’ diri kepada Islam dengan sepenuh hati, suatu saat, cepat atau lambat, insya Allah pasti kita jadi hero pula. Menjadi teladan buat anak-cucu kita. Teladan dalam dakwah dan perjuangan menegakkan Islam. Inilah sosok hero yang sebenarnya. Are you ready? [martono/faris]

[pernah dimuat di Majalah SOBAT Muda edisi Desember 2008]

Bunga-bunga Dakwah


Martono Al-faritsy, S.Pd

“Para pejuang kebenaran adalah orang yang paling pintar memaknai arti cinta. Mereka orang yang paling romantis. Rindu dan cintanya amat kuat menggebu. Demi cinta dan rindunya kepada kebenaran, ia rela menempuh cobaan. Telapak tangannya selalu basah oleh keringat, bahkan darah. Tapi tak pernah mengeluh dan terus berjuang. Pikirannya senantiasa dipenuhi cita-cita mewujudkan tersampaikannya kebenaran. Meski untuk itu, ia berani untuk dicemooh, dihinan, bahkan rela mati. Sungguh hebat para pejuang kebenaran dalam mengaplikasikan cintanya. Begitu seharusnya cara mencintai. Mereka, adalah bunga-bunga dakwah yang harum semerbak,” papar Arya mengakhiri taushiyah-nya pagi itu di masjid sekolah.

Anak-anak rohis tertunduk. Menghela nafas dan saling berpandangan. Malah ada yang matanya mulai berkaca-kaca. Terharu. Ogi juga sangat terkesan dengan ungkapan Arya, kakak kelasnya yang juga ketua rohis di SMU Jingga itu. Meski dari gaya bahasanya nggak terlalu bombastis dan bernilai sastra, tapi isinya mampu melelehkan hatinya.

“Mil, kamu tahu kan gimana kondisi terakhir dakwah di sekolah kita?” Ogi menatap wajah Jamil dengan amat lekat. Jamil hanya mengangkat bahu. Tak berkata apa-apa seolah Ogi pasti tahu apa yang ada dalam pikirannya. Sudah seminggu masalah dakwah di sekolahnya mulai menyita perhatiannya, tenaganya, dan juga waktunya. Anak-anak rohis SMU Jingga sedang menghadapi sebuah tantangan yang mungkin saja akan menggerus semangat mereka secara perlahan tapi pasti. Padahal, semangat itu mulai tumbuh. Semangat untuk mencintai kebenaran Islam. (more…)

Koalisi Jalan Syetan

Pesta demokrasi 2009 baru saja berlalu, entitas puncak dari demokrasi ini ternyata belum mampu mewujudkan keterwakilan dan keberpihakan rakyat. Justru setelah pemilu 2009, semua partai politik seakan sibuk untuk mencari “koalisi” kekuasaan. Hal ini memprlihatkan bahwa suara rakyat semata-mata di kejar hanya untuk kemenangan partai dan menunjukkan seberapa besarnya partai, bukan untuk menyatukan keinginan kesejahteraan ummat.

Partai islam seakan-akan tidak laku terjual, bahkan mereka pasrah dan menyerahkan diri secara langsung kepada partai-partai nasionalis, dengan mengatakan bahwa mereka siap berkoalisi dengan siapa saja. Tentu hal ini, sangat menjadi sebuah pertanyaan baru, lakukah partai islam dalam Pemilu 2009? Maka dari hasil perolehan partai berazas islam dan berbau islam kita dapat menyimpulkan bahwa mereka tidak mampu menanamkan kepercayaan kepada publik. Sekedar mengingatkan akan ucapan Nurcholis Madjid, “Islam Yes, Partai Islam No”. Ada benar ucapan itu. Karena pada dasarnya partai-partai islam belum mampu membawa misi islam dan nilai-nilai islam dalam memberikan kesadaran politik di masyarakat. Masyarakat mulai sadar betul bahwa saat ini, Pemilu dalam kancah Demokrasi sekedar mengganti individu belaka di DPR namun tidak merubah secara fundamental sifat DPR dan sistem di negeri ini. Koalisi-koalisi antar partai yang mulai digagas ternyata hanya bertujuan membentuk kekuasaan dan melupakan proses ke depan ke arah pembentukan kesejahteraan ummat.

Saat ini, media massa telah tertuju pada 2 kubu yang akan saling bersaing yaitu kubu Demokrat yang direpresentasikan dengan SBY dan PDIP yang merepresentasikan dalam wujud Megawati. Lantas kemanakah partai Islam bermuara? Justru kalau kita perhatikan baik Demokrat dan PDIP sama-sama berazaskan pancasila, artinya kalau pun mereka masih mempertahankan idealis kepartaiannya mereka tidak berada dalam posisi mendukung diantara kduanya. Namun sayangnya, partai islam belum mampu menunjukan identitas diri mereka sebagai orang islam. Yang ada justru mereka lebih terpikat kepada pembagian kekuasaan, bukan sebaliknya menguasai Indonesia dengan islam yang akan membawa Indonesia yang lebih baik.

Partai Islam vs Partai Sekuler

Disebut partai sekuler jika arah perjuangan dan azas partai tidak berdasarkan islam, sementara partai yang lebih populer di masyarakat sebagai partai islam ternyata masih ragu dan berwacana diam-diam terhadap islam mereka menggembar-gemborkan perjuangan untuk islam, namun nyatanya mereka berkoalisi dengan partai sekuler yang jelas-jelas mengusung kehidupan tanpa aturan agama. Partai Islam pun sepertinya saat ini samar-samar, dan secara gamblang belum mapu membuktikan diri keisalman mereka dalam mewujudkan kehidupan yang didasarkan islam. Padahal dasar pembentukan partai islam itu harus sesuai dengan kutipan Al-Quran sbb:
“ dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.” (Al-Imron:104)

Artinya partai islam harus menyeru dan menyuruh ummat untuk melakukan hal-hal yang maruf dan islam serta mencegah ummat untuk brbuat mungkar. Inilah partai isalm saebenarnya, yaitu berpijak kepada islam bukan kepada aturan syetan dan aturan buatan manusia. Kekuatan partai islam pun seharusnya berpijak kepada islam sebagai aturan kehidupan bukan sekedar azas dan wacana belaka. Inilah partai islam yang shohih itu, sehingga ia tidak menjual islam hanya untuk kepentingan semu kepemimpinan yang sebenarnya adalah pembodohan barat untuk merusak pondasi-pondasi keimanan islam.

Koalisi Jalan Setan

Wahai partai Islam! Koalisi memperebutkan kursi jabatan dan kekuasaan, merebutkan pembagian kepemimpinan, dan mencari posisi aman sebenarnya jalan mudhorot yang akan meninggalkan jejak menyakitkan dan suramkepada ummat untuk percaya kepada islam. Sudah layak kita sebagai barisan orang-orang beriman berada dalam keteguhan dan keistiqomahan dalam islam. Karena sangat jelas seruan-Nya keapda kita untuk menjalankan aturan islam bukan aturan syetan sebagaimana tertulis dalam firman-Nya sbb.

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (Al-Maidah:50)

Sudah pantas bagi partai islam untuk mengambil langkah berani, yaitu keluar dari koalisi dan mengusung islam dari luar bukan dari Demokrasi, karena jeals Demokrasi telah menjual isalm secara rendah dan mereka tidak menginginkan islam sebagai aturan hidup karena pada dasarnya Demokrasi yang dielu-elukan olehbarat, pemimpin negeri kaum muslim adalah tindakan melawan Tuhan! (wallahu ‘alam).

oleh martono alfaritsy (dosen STIM boalemo - Gorontalo city)

Koalisi Parpol Islam dan Parpol Sekuler dalam Pandangan Islam

Pendahuluan

Pemilu legislatif telah digelar 9 April 2009 lalu dan hasilnya sudah diketahui, walau hanya berdasarkan quick count atau hasil rekapitulasi sementara KPU. Hasil pemilu ini lalu dijadikan dasar untuk membentuk koalisi antar parpol menuju Pemilu Presiden, baik koalisi sesama parpol sekuler maupun antara parpol sekuler dengan parpol Islam.

Koalisi sesama parpol sekuler mungkin bukan hal aneh. Tapi menjadi tidak wajar jika ada parpol Islam berkoalisi dengan partai sekuler. Misalnya saja, koalisi PKS dengan Partai Demokrat, yang telah diresmikan Ahad lalu (26/04/09) (Koran Tempo, 27/04/09). Sebelumnya, Prof. Dr. Iberamsjah, Guru Besar Ilmu Politik UI, telah mengkritik tajam rencana koalisi PKS-Demokrat yang disebutnya aneh ini. Iberamsjah mempertanyakan dengan kritis,”PKS mewakili aspirasi umat Islam yang fanatik mendukung perjuangan rakyat Palestina dan sangat anti Zionis. Tiba-tiba berpelukan dengan Partai Demokrat yang sangat pro Amerika yang melindungi Zionis Yahudi. Bagaimana bisa?” (Sabili, No 20, Th XVI 27 Rabiul Akhir 1430/23 April 2009, hal. 28).

Maka dari itu, sangat relevan umat Islam memahami dengan baik norma-norma ajaran Islam terkait dengan koalisi parpol seperti ini. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan hukum syara’ tentang koalisi antar parpol Islam dengan parpol sekuler.

Pengertian dan Fakta Koalisi

Koalisi menurut pengertian bahasa (etimologi) artinya adalah kerjasama antara beberapa partai. (W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 514). Dalam bahasa Inggris, coalition diartikan sebagai pergabungan atau persatuan, sedang coalition party artinya adalah partai koalisi. (John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, hlm. 121).

Menurut pengertian istilah (terminologi), koalisi memiliki banyak definisi. Menurut Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila Edisi IV (1988:50), koalisi berasal dari bahasa Latin co-alescare, artinya tumbuh menjadi alat penggabung. Maka koalisi dapat diartikan sebagai ikatan atau gabungan antara dua atau beberapa negara untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Atau dapat diartikan sebagai gabungan beberapa partai/fraksi dalam parlemen untuk mencapai mayoritas yang dapat mendukung pemerintah. (Murdiati, 1999).

Dalam bahasa Arab, koalisi politik disebut dengan istilah at-tahaaluf as-siyasi. At-tahaluf, berasal dari kata hilfun yang berarti perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aqadah). Literatur yang sering ditunjuk untuk membahas tema koalisi politik dalam Islam antara lain kitab berjudul At-Tahaaluf As-Siyasi fi Al-Islam, karya Syaikh Muhammad Munir Al-Ghadban (ulama Ikhwanul Muslimin).

Adapun koalisi yang dimaksud dalam tulisan ini, dibatasi pada koalisi antar parpol Islam dan parpol sekuler. Dengan mengamati realitas politik praktis, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler dapat didefinisikan secara umum sebagai penggabungan atau kerjasama parpol Islam dan parpol sekuler untuk mempengaruhi proses-proses politik, seperti misalnya : (1) menentukan calon presiden dan calon wakil presiden, (2) menentukan menteri-menteri di kabinet, (3) menentukan strategi untuk menyusun parlemen yang mendukung pemerintah, (4) menentukan platform dan arah kebijakan, dan lain-lain.

Koalisi parpol Islam dan parpol sekuler di Indonesia sudah lama terjadi. Fakta ini tidak terjadi belakangan ini saja, katakanlah tahun 1999 ketika ada koalisi yang disebut Poros Tengah, yang dimotori PAN (partai sekuler) dan PPP (partai Islam) guna menggolkan Gus Dur sebagai Presiden RI ke-4. Bahkan sejak tahun 1945, koalisi seperti ini sudah pernah terjadi. Masyumi sebagai parpol Islam telah menjalin koalisi dengan berbagai parpol sekuler. Pada tahun 1945-1946 (Kabinet Syahrir I), terjadi koalisi Masyumi – Parkindo (Partai Kristen Indonesia). Lalu, pada tahun 1950-1951 (Kabinet Natsir) terjadi koalisi Masyumi - PSI, tahun 1951-1952 (Kabinet Sukiman) dan dan tahun 1952-1953 (Kabinet Wilopo) terjadi koalisi Masyumi - PNI. (Alfian, 1981; Ricklefs, 2005; Mashad, 2008; Kiswanto, 2008).

Pada masa kini, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler juga sering terjadi, seperti dalam berbagai Pilkada. Di Pilkada Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2007, PKS berkoalisi dengan Partai Golkar (Jurdi, 2009). Bahkan di Papua, PKS berkoalisi dengan PDS (partai Kristen).

Koalisi pragmatis model PKS itu mengingatkan orang pada koalisi Ikhwanul Muslimin dengan beberapa partai sekuler di Mesir. Ikhwanul Muslimin di Mesir pernah berkoalisi dengan Partai Wafd, yang merupakan gabungan partai komunis dan partai sekuler di Mesir. Ikhwan juga pernah berkoalisi dengan Partai Asy-Sya’ab, yaitu partai buruh dalam pemilu anggota legislatif. Gerakan Islam Syiria juga pernah berkoalisi dengan unsur kekuatan nasionalis Syiria untuk beroposisi dengan penguasa dan dalam rangka berupaya menggantikannya. Gerakan dakwah Yaman juga pernah berkoalisi dengan partai berkuasa dan kemudian membentuk lembaga kepresidenan untuk menjalankan pemerintahan. Gerakan dakwah Islam di Sudan juga pernah berkoalisi dengan tentara untuk menjalankan urusan kenegaraan. (Anonim, 2004).

Inilah sekilas pengertian dan fakta koalisi parpol Islam dan parpol sekuler.

Hukum Koalisi Parpol Islam & Parpol Sekuler

Dengan meneliti fakta (manath) koalisi partai Islam dan partai sekuler yang ada, dapat diketahui bahwa tujuan utama koalisi tersebut secara garis besar ada 3 (tiga); Pertama, untuk menentukan presiden dan wakil presiden. Kedua, untuk menentukan menteri-menteri dalam kabinet. Ketiga, untuk menciptakan stabilitas politik dalam parlemen.

Faktanya, dalam menjalankan sistem pemerintahan sekuler sekarang (republik), semua lembaga politik seperti presiden, menteri, dan parlemen, tidak menggunakan Syariah Islam sebagai hukum positif (yang berlaku), melainkan menggunakan hukum-hukum buatan manusia (hukum kufur/thaghut/jahiliyah).

Presiden dan para menteri, misalnya, tugas utamanya sebagai pemegang kekuasaan eksekutif bukanlah menjalankan Syariah Islam, melainkan menjalankan UU buatan manusia (produk lembaga legislatif). Parlemen, tugas utamanya sebagai pemegang kekuasaan legislatif adalah melakukan legislasi UU yang tidak merujuk kepada wahyu sebagai sumber hukumnya, melainkan menjadikan manusia sebagai sumber hukumnya. Kalau ada legislasi atau penerapan Syariah, hanyalah sedikit atau parsial saja, dan merupakan perkecualian.

Padahal, Islam di satu sisi telah mewajibkan umatnya untuk menerapkan Syariah Islam, secara menyeluruh/kaffah dan bukan secara parsial. (Lihat QS An-Nisaa : 58; QS Al-Maaidah : 48-49; QS Al-Baqarah : 208; QS Al-Baqarah : 85).

Di sisi lain Islam telah mengharamkan umatnya untuk menerapkan hukum kufur, yaitu hukum selain Syariah Islam. (Lihat QS Al-Maaidah : 44, 45, 47; QS Al-Maaidah : 50; QS An-Nisaa` : 60; QS An-Nisaa` : 65). Firman Allah SWT :

Maka dari itu, mempertimbangkan tujuan-tujuan koalisi yang telah disebutkan di atas, dan pertentangannya yang nyata dengan syara’, maka koalisi parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya haram secara syar’i.

Dalil-dalil keharamannya adalah Al-Qur`an, As-Sunnah, dan qaidah syar’iyah. Rinciannya sebagai berikut :

Pertama, koalisi parpol Islam dan parpol sekuler merupakan tolong menolong dalam perkara yang haram, yaitu tolong menolong yang mengarah kepada penerapan hukum-hukum kufur (bukan Syariah Islam), baik dalam kekuasaan eksekutif (presiden dan menteri) maupun legislatif (parlemen). Tolong menolong semacam ini telah dilarang oleh Allah SWT dengan firman-Nya :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS Al-Maaidah [5] : 2)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas :

يأمر تعالى عباده المؤمنين بالمعاونة على فعل الخيرات، وهو البر، وترك المنكرات وهو التقوى، وينهاهم عن التناصر على الباطل. والتعاون على المآثم والمحارم…

“Allah SWT telah memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk tolong menolong dalam mengerjakan perbuatan baik, yaitu kebajikan (al-birr), dan meninggalkan kemungkaran-kemungkaran, yaitu ketakwaan (al-taqwa). Allah SWT juga melarang mereka untuk tolong menolong dalam kebatilan (al-bathil), dalam dosa (al-ma-atsim), dan dalam hal-hal yang diharamkan (al-maharim).” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/12-13).

Berdasarkan keumuman ayat di atas, yaitu adanya larangan untuk tolong menolong dalam segala kebatilan (al-bathil), dosa (al-ma-atsim), dan hal-hal yang diharamkan (al-maharim), maka koalisi parpol Islam dan parpol sekuler adalah haram, karena koalisi ini mengarah pada penerapan hukum kufur yang jelas-jelas haram.

Kedua, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan menimbulkan kecenderungan (sikap rela/setuju) dari aktivis parpol Islam kepada aktivis parpol sekuler yang zalim. Padahal sikap cenderung ini dilarang oleh Allah SWT :

وَلا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لا تُنْصَرُونَ

“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS Huud [11] : 113)

Kalimat “janganlah kamu cenderung” (wa laa tarkanuu), ada beberapa penafsiran. Kata Qatadah, bahwa maksudnya adalah janganlah kamu mencintai (laa tawadduuhum) dan janganlah kamu mentaati mereka (laa tuthii’uuhum). Kata Ibnu Juraij, maksudnya janganlah kamu condong kepada mereka (laa tumiilu ilaihim). Kata Abul ‘Aliyah, maksudnya janganlah kamu rela dengan perbuatan mereka (laa tardhou a’maalahum). Mengomentari beberapa penafsiran ini, Imam Qurthubi menyimpulkan,”Semua penafsiran ini hampir sama maknanya.” (Kulluha mutaqaaribah). (Tafsir Al-Qurthubi, 9/108).

Imam Al-Qurthubi selanjutnya menerangkan :

وأنها دالة على هجران أهل الكفر والمعاصي من أهل البدع وغيرهم، فإن صحبتهم كفر أو معصية، إذ الصحبة لا تكون إلا عن مودة

“Ayat ini menunjukkan [keharusan] menjauhi orang kafir atau para pelaku maksiat dari kalangan ahlul bid’ah dan yang lainnya, karena bersahabat dengan mereka adalah suatu kekufuran atau kemaksiatan, mengingat persahabatan tak mungkin ada kecuali karena kecintaan…” (Tafsir Al-Qurthubi, 9/108).

Berdasarkan penafsiran ini, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler haram hukumnya. Sebab para aktivis parpol sekuler hakikatnya adalah orang-orang zalim atau para pelaku maksiat (ahlul ma’ashi), karena tidak menjadikan ajaran Islam sebagai asas dan pedoman dalam berparpol. Orang-orang sekuler ini mestinya dijauhi, bukan didekati atau malah diajak koalisi. Karena itu, berkoalisi dengan mereka, berarti melanggar perintah Allah dalam ayat di atas, yaitu perintah untuk menjauhi para pelaku maksiat dengan cara tidak berkawan atau bersahabat dengan mereka.

Ketiga, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan memperlama umur kebatilan, yaitu sistem demokasi-sekuler sekarang. Padahal Allah SWT telah memerintahkan agar bersegera –bukan berlambat-lambat– dalam meninggalkan kebatilan dan melaksanakan ketaatan. Allah SWT berfirman :

وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالاَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali ‘Imraan [3] : 133).

Kata saari’uu (bersegaralah) artinya baadiruu (bercepat-cepatlah) atau saabiquu (berlomba-lombalah). (Tafsir Al-Baghawi, 2/103). Maka koalisi antar parpol Islam dengan parpol sekuler haram karena bertentangan dengan perintah Allah ini, sebab koalisi seperti itu justru akan memperlama eksistensi sistem sekuler dan menunda semakin lama penerapan Syaraiah Islam yang menyeluruh.

Keempat, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler akan mengantarkan orang-orang mereka dalam jabatan-jabatan pemerintahan dalam sistem sekuler. Padahal telah ada hadis sahih yang melarang menduduki jabatan-jabatan pemerintahan (penguasa) dalam sebuah pemerintahan yang menyalahi Syariah, seperti sistem demokrasi-sekuler sekarang. Sabda Nabi SAW :

ليأتين على الناس زمان يكون عليكم أمراء سفهاء يقدمون شرار الناس ، ويظهرون بخيارهم ، ويؤخرون الصلاة عن مواقيتها ، فمن أدرك ذلك منكم ، فلا يكونن عريفا ولا شرطيا ولا جابيا ولا خازنا

“Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman, dimana yang ada atas kalian adalah pemimpi-pemimpin yang bodoh (umara sufaha) yang mengutamakan manusia-manusia yang jahat dan mengalahkan orang-orang yang baik di antara mereka, dan mereka suka menunda-nunda sholat keluar dari waktu-waktunya. Maka barangsiapa di antara kamu yang mendapati pemimpin-pemimpin seperti itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pejabat (’ariif), atau menjadi polisi, atau menjadi pemungut [harta], atau menjadi penyimpan [harta].” (Musnad Abu Ya’la, 3/121; Ibnu Hibban no 4669; Kata Nashiruddin Al-Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah hadis no 360,”Hadis ini isnadnya sahih dan para perawinya tsiqat.”).

Terdapat hadis lain yang semakna dengan hadis di atas, misalnya sabda Nabi SAW :

يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ أُمَرَاءُ ظَلَمَةٌ، وَوُزَرَاءُ فَسَقَةٌ، وَقُضَاةٌ خَوَنَةٌ، وَفُقَهَاءُ كَذَبَةٌ، فَمَنْ أَدْرَكَ مِنْكُمْ ذَلِكَ الزَّمَنَ فَلا يَكُونَنَّ لَهُمْ جَابِيًا وَلا عَرِيفًا وَلا شُرْطِيًّا

“Akan ada pada akhir zaman para pemimpin yang zalim, para menteri yang fasik, para hakim yang khianat, dan para fuqaha yang pendusta. Maka barangsiapa di antara kamu yang mendapati zaman itu, janganlah sekali-kali dia menjadi pemungut harta mereka, atau menjadi pejabat mereka, atau menjadi polisi mereka.” (HR Thabrani, dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, hadis no 156, 19/67).

Muhammad Syakir Al-Syarif menjelaskan pengertian kata “ariif” dan “jaabi” dalam hadis di atas sebagai berikut :

العريف : القيم الذي يتولى مسئولية جماعة من الناس…والجابي : الذي يتولى جباية الإموال من الناس كالمكوس ونحوها

“Yang dimaksud “ariif” adalah orang yang memegang tanggung jawab masyarakat umum [pejabat pemerintahan], sedang “jaabi” adalah orang yang bertugas memungut harta masyarakat seperti bea cukai dan yang semisalnya [petugas pajak].” (Muhammad Syakir Al-Syarif, Al-Musyarakah fi Al-Barlaman wa Al-Wizarah, hlm. 181).

Berdasarkan hadis di atas, jelas koalisi parpol Islam dan parpol sekuler haram hukumnya. Karena koalisi ini di antaranya tujuannya adalah menempatkan kader-kader mereka untuk menjadi para pejabat publik, seperti presiden dan menteri, dalam sistem sekarang yang tidak menjalankan Syariah Islam. Posisi jabatan publik dalam sistem kufur seperti ini dilarang berdasarkan hadis di atas.

Kelima, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan suatu perjanjian atau kesepakatan yang terlarang dalam Islam, karena tujuannya bertentangan dengan ajaran Islam. Perjanjian atau kesepakatan semacam ini haram hukumnya, sesuai sabda Nabi SAW :

لا حِلْفَ فِي الإِسْلام

“Tidak boleh ada perjanjian [yang batil] dalam Islam.” (HR Bukhari no 2130; Muslim no 4593; Abu Dawud no 2536; Ahmad no 13475).

Kata “hilfun” dalam bahasa Arab arti asalnya adalah perjanjian (mu’ahadah) atau kesepakatan (mu’aaqadah; ittifaaq) untuk saling memperkuat (at-ta’adhud) atau menolong (at-tasaa’ud). (Catatan kaki dalam Al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, Al-Hakim, 6/497).

Imam Nawawi memberi syarah (penjelasan) hadis di atas dengan berkata :

فَالْمُرَاد بِهِ حِلْف التَّوَارُث وَالْحِلْف عَلَى مَا مَنَعَ الشَّرْع مِنْهُ

“Yang dimaksud dengan “hilfun” yang dilarang dalam hadis di atas adalah perjanjian untuk saling mewarisi [yang ada pada masa awal hijrah bagi orang-orang yang saling dipersaudarakan oleh Rasulullah SAW] dan perjanjian pada segala sesuatu yang dilarang oleh syara’.” (Imam Nawawi, Syarah Muslim, 3/302).

Maka dari itu, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler adalah haram, karena koalisi ini hakikatnya merupakan perjanjian yang dilarang oleh syara’, karena bertujuan untuk menempatkan para kader mereka sebagai presiden dan/atau menteri (yang akan menjalankan hukum-hukum kufur).

Keenam, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan suatu perjanjian batil karena mengandung syarat-syarat yang bertentangan dengan syara’. Nabi SAW telah bersabda :

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

“Setiap syarat yang tidak sesuai dengan Kitabullah, maka ia adalah batil, meskipun ada seratus syarat.” (HR Bukhari no 2375; Muslim no 2762; Ibnu Majah no 2512; Ahmad 24603; Ibnu Hibban no 4347).

Ibnu Hajar Al-’Asqalani dalam Fathul Bari berkata :

أَنَّ الشُّرُوط الْغَيْر الْمَشْرُوعَة بَاطِلَة وَلَوْ كَثُرَتْ

“Sesungguhnya syarat-syarat yang tidak sesuai syara’ adalah batil, meski banyak jumlahnya.” (Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Fathul Bari, 8/34).

Jadi, hadis di atas melarang setiap syarat yang bertentangan dengan syara’. Padahal suatu perjanjian termasuk koalisi antar parpol tidak akan terlepas dari syarat-syarat yang diajukan kedua belah pihak. Misalnya siapa yang akan menjadi calon presiden, siapa yang akan menduduki kementerian tertentu, dan sebagainya. Padahal syarat-syarat koalisi ini terkait dengan kekuasaan dalam sistem sekuler yang tidak menjalankan hukum Syariah Islam.

Maka dari itu, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler hukumnya haram, karena koalisi ini merupakan suatu perjanjian dengan syarat-syarat yang bertentangan dengan syara’, yaitu memperoleh kedudukan dalam kekuasaan yang tidak menjalankan Syariah Islam.

Ketujuh, koalisi parpol Islam dengan parpol sekuler merupakan perantaraan (wasilah) kepada sesuatu yang haram, yaitu duduknya para kader mereka sebagai pejabat publik (seperti presiden dan menteri) dalam sistem demokrasi-sekuler, yang akan menjalankan hukum-hukum kufur. Kaidah syara’ dalam masalah ini menetapkan :

الْوَسِيلَةُ إلى الْمُحَرَّمِ مُحَرَّمَةٌ

“Segala perantaraan yang akan membawa kepada yang haram, hukumnya haram.” (Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq, 3/46)

Berdasarkan ketujuh dalil yang telah diuraikan di atas, maka hukum koalisi parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya adalah haram secara syar’i.

Kesimpulan

Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa koalisi antara parpol Islam dan parpol sekuler hukumnya haram. Karena koalisi seperti ini mengarah pada legislasi dan/atau penerapan hukum kufur, baik oleh eksekutif (Presiden dan para menteri) maupun oleh legislatif (parlemen). Wallahu a’lam. [ ]

Israel Berencana Mengepung Al-Aqsha Dengan 100 Sinagog

Lembaga Waqaf dan Warisan al-Aqsha membongkar rencana besar Israel untuk mengepung masjid al-Aqsa yang diberkati dengan sekitar 100 sinagoga. Hal ini tercermin dari aktivitas Pusat Keamanan Militer Israel yang sedang melakukan persiapan untuk melaksanakan rencana Israel yang dipastikan akan membagi masjid al-Aqsa dan kemudian membangun sinagoga mereka.

Situs “Filasthin al-Yaum” menyatakan bahwa Lembaga al-Aqsha mengatakan dalam konferensi pers yang diselenggarakan di hotel Ambasador di Syaikh Jarrah bahwa lembaga tersebut telah mendeteksi dan mendokumentasikan puluhan sinagoga Yahudi, serta tempat-tempat dan pusat-pusat pemukiman guna diubahnya menjadi sinagoga untuk mengepung masjid al-Aqsa yang diberkati dalam tahap berikutnya.

Lembaga tersebut menyajikan sebuah film dokumenter pada awal konferensi pers dengan judul “Sinagoga Mengepung Masjid al-Aqsha” yang memperlihatkan gambar (saksi) hidup, dan kesaksian sejumlah warga, serta para peneliti yang mendapatkan fakta-kakta dari pemukiman di kota tua dan daerah di sekitar masjid al-Aqsa.

Syaikh Raid Shalah, Ketua Gerakan Islam pada konferensi pers yang dikoordinasi oleh pengacara Zahi Najidat menyerukan: “Bangsa Arab dan kaum Muslim untuk menjadikan tanggal 7 Juni bulan depan, dimana pada tanggal itu juga al-Quds (Yerusalem) dan al-Aqsha jatuh dibawah pendudukan pada tahun 1967, dijadikan sebagai hari kemenangan bagi kota suci al-Quds (Yerusalem) dan masjid al-Aqsa yang diberkati. Sehingga hari itu menjadi bukti dan sebuah kenangan bahwa bangsa Arab dan kaum Muslim mencintai dan bersungguh-sungguh mempertahankan al-Quds (Yerusalem)”.

Syaikh Raid Shalah meminta para perwakilan faksi-faksi Palestina yang ada di Kairo untuk merealisasikan persatuan nasional dalam rangka menghadapi rencana-rencana pendudukan yang bertujuan untuk menolak pembentukan negara Palestina, dan menghancurkan eksistensi warga Palestina di al-Quds (Yerusalem), Tepi Barat, dan hingga kini terus memgepung Jalur Gaza.

Dia menegaskan bahwa Israel berusaha untuk menghapus adanya kekuasaan apapun bagi bangsa Arab, kaum Muslim, atau warga Palestina terhadap masjid al-Aqsa, serta berusaha untuk melumpuhkan gerakan rekonstruksi masjid al-Aqsa, bahkan Israel mencoba untuk memaksakan kedaulatan dan kekuasaannya dengan kekuatan senjata dan pendudukan.

Dia juga mengatakan bahwa mereka berusaha keras untuk menghancurkan kekuasaan apapun yang dimiliki lembaga wagqaf Islam di al-Quds (Yerusalem) terhadap masjid al-Aqsa, dan memaksakan sejumlah besar tindakan sepihak, seperti memaksakan program pariwisata dan serangan Israel yang dilakukan berulang-ulang, sehingga hal itu menjadi rutinitas harian, khususnya bagi para petugas, pejabat, dan anggota keamanan Israel.

Syaikh Raid Shalah menambahkan: “Sesungguhnya ada rencana Israel yang hampir dilaksanakannya, yaitu membangun sinagoga terbesar di dunia di atas sekolah al-Tankiziyah yang merupakan bagian dari masjid al-Aqsa. Rencana pembangunan sinagoga ini telah diputuskan pada saat pemerintahan Sharon dengan biaya 40 juta dolar, dan didukung oleh organisasi-organisasi Yahudi Internasional dan kelompok-kelompok Zionis Protestan”.

Syaikh Raid mengatakan bahwa ada rencana Yahudisasi yang turut andil dengan melakukan Yahudisasi terhadap pemukiman di dekat masjid al-Aqsa yang diberkati. Dan dia menjelaskan bahwa semua sinagoga itu dibangun di atas tanah dan properti yang merupakan waqaf (sumbangan) umat Islam, sehinga semua itu merupakan harta warisan kami bangsa Arab dan kaum Muslim. Namun dengan liciknya, mereka melakukan berbagai pemalsuan dan penggunaan kekuatan dalam memaksakan fakta dan merampas hak-hak warga Palestina.

Sementara itu, Uskup Atallah Hanna, Kepala Uskup dari Gereja Ortodoks Sebastia Yunani mengatakan: “Sesungguhnya agama dan tempat ibadah adalam milik Allah. Jadi bagaimana terjadi perampasan dan pencurian lahan guna pembangunan rumah-rumah ibadah (sinagoga) sebagai tempat untuk menyembah Allah, sedang pembangunan rumah-rumah ibadah (sinagoga) di sekitar masjid al-Aqsha terus mendapatkan penolakan dan kecaman”.

Dia menambahkan: “Tempat-tempat ibadah jangan dibangun di atas ketidakadilan, penindasan terhadap orang lain, dan pelanggaran terhadap hak-hak mereka; serta jangan dibangun di atas reruntuhan rumah-rumah dan tempat-tempat suci mereka. Apa yang dilakukan Israel itu, tidak ada hubungannya dengan ibadah dan pemujaan. Sinagoga yang dibangun Israel hanyalah merupakan pusat pemukiman rasisme yang jauh dari kesucian, dan merupakan tempat-tempat untuk membangkitkan permusuhan terhadap bangsa Arab dan kaum Muslim. (mb/moheet).